Rabu, 27 Maret 2013

pintal benang berkelindan

Yang selalu lebih unik adalah kelebihan. Yang kita butuhkan selalu ada pada mereka, Yang mereka butuhkan selalu kita punya. Seperti pintal benang berkelindan. Saling mencocok saling menyokong. Yang satu ini, sahabat mulia. Sepasang bola matanya istimewa. Istimewa karena tak pernah mendurhakai Allah. Ia tertakdir buta. Jalannya terseok. Indra penglihatnya digantikan oleh kayu-kayu kering gemurun. Orang-orang tak pernah memandangnya dengan mata yang memburu tegun. Hanya sebelah saja. Kehadirannya abai. Ketiadaannya tak terasa mengganjilkan. Dipandang lemah, fakir, tak banyak daya, namun jiwanya penuh cahaya. Abyad menyemburat. Terlihat dungu namun gudang ilmu. Penampilannya kusut masai. Namun hatinya terpapak rapi. Suci. Mencahayai. Dan yang satunya, sahabat yang menyejukkan. Matanya indah menggerling. Tatapannya sayu melembut. Wajahnya rupawan. Tubuhnya tegap elegan. Ketampanannya berbanding lurus dengan perangai diri. Kata-katanya semilir indah. Ajakannya selalu tersambut baik oleh sahutan sahabat-sahabatnya. Banyak mengundang kekaguman. Akhlaknya elok rancak. Menjadikannya mengundang banyak orang untuk tertarik. Perangainya memikat. Kehadirannya dambaan umat. Hebatnya kedua sahabat ini sekarang bersaudara. Tepatnya dipersaudarakan. Oleh kebijakan mulia sang Nabi saw. Ditugaskan sebagai duet pendakwah yang tangguh. Mencahayai Yastrib yang kelam. Menjadi Madinah yang benderang. Yang lemah papa bertugas mendidik, menyucikan. Yang indah rupawan memikat kehadiran, memesona banyak umat. Yang satu ‘Abdullah ibn Ummi Maktum, dan yang lain Mush’ab ibn Umair. Keduanya saling menyokong dalam memperjuangkan Islam. Kekurangan yang satu tidak mendengki pada kelebihan yang lain. Kekuatan yang satu tidak mengusik kelemahan lain yang menguncup. Mereka saling menyokong. Saling membangun. Sama-sama berbagi kelebihan diantara kelemahan yang menghambat asa. Tugas mulia mulai membentuk mereka. Perpaduan yang apik ternyata. Mush’ab menjalankan tugasnya dengan cergas. Tidak satu-dua yang terpikat. Terbilang banyak. Bahkan petinggi-petinggi kaum terpesona pula dengan kail syiarnya. Nama sebesar Sa’d ibn Muadz takluk juga. Sa’d yang keislamannya berefek domino. Diikuti seluruh kaum. Menjadikan dakwah Islam berjaya. Bergerak trengginas. Seperti deburan ombak di ujung pesisir. Cepat dan melahap jejak-jejak kejahiliyahan. Dan sahabatnya memiliki peran yang tidak kalah penting. Yang ini sangat terampil menjinakkan hati. Menyucikan jiwa. Bagaimana tidak, penglihatannya saja tersucikan. Ia banyak melihat dengan hati. Sehingga menyentuh jiwa, bukan perkara musykil. Hatinya seperti muara. Terhubung dengan hulu hidayah. Dan dengan mudah bisa mencabangkannya. Menjernihkan hati orang-orang yang datang padanya. Menyejukkan jiwa orang yang datang bersuci padanya. Inilah perpaduan dalam keislaman. Kita meyakini bahwa kelemahan-kelamahan kita ibarat sebuah susunan puzzle yang tidak kita miliki. Dan hikmah, hidayah, selalu membawa kita ke tempat orang yang memilikinya. Atas izin Allah orang yang tepat selalu saja datang. Yang kita butuhkan keberadaannya selalu tiba menyertai. Menjadikan sahabat setia dalam bekerja bersama. Beramal, membuat anak tangga menuju tempat yang terdamba. Menjalin cinta, menyediakan sebuah mimbar cahaya. Di sana tempatnya. Di taman-taman surga. Akhirnya, keberadaan kita melengkapi keberadaan yang lain. Pun sebaliknya. Lalu landasan iman membuat kita saling berpegang erat. Saling berpilin kuat. Karena kita membutuhkan saudara. Untuk berbagi ilmu, memantapkan khusyuk, menyemai bibit pahala baru. Karena dengan persaudaraan iman, kelemahan tidak menjadi hirauan. Seperti sehelai benang. Lemah. Namun ia selalu bertemu helaian yang lain. Berpintal. Berkelindan. Menjadi kain yang menghangatkan. Menjadi kuat, seperrti zirah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar